Jumat, 25 Maret 2016

Kala Kabut Menyambut Kedatanganku di Bromo Tengger Semeru


Bromo seperti sebuah magnet yang mampu menyedot perhatian para wisatawan. Keindahan gunung berkawah ini memang tiada duanya saat cuaca cerah. Namun, saat kabut tebal lengkap dengan rinai hujan dikirimkan Tuhan saat kita tiba di gunung eksotis ini, maka kita patut bersyukur kepada Sang Pencipta alam semesta raya, Alloh SWT. Saatnya kita panjatkan doa kala hujan menyapa, Allohumma Syoyiban Nafi’an.

Selama ini aku hanya bisa melihat keindahan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru lewat buku travelling atau internet saja. Sejak lama sudah terpikirkan olehku untuk berkunjung ke sini. Keinginan yang menggebu-gebu disertai dengan campur tangan Alloh yang begitu kuat, akhirnya sampailah aku di sini. Alhamdulillah, Segala Puji Hanya Bagi Alloh.

Taman nasional yang terletak di 4 kabupaten di Jawa Timur ini merupakan salah satu objek wisata andalan. Hampir setiap pekan ratusan hingga ribuan pengunjung memadati kawasan yang dihuni oleh Suku Tengger ini. Para wisatawan datang dari 4 pintu masuk kawasan wisata ini yakni lewat Desa Wonokitri (Pasuruan), Cemoro Lawang (Probolinggo), Ngadas (Malang) dan Argosari (Lumajang). Biaya masuknya Rp. 30ribu / orang. Aku bersyukur sekali bisa masuk dengan gratis, bahkan mobil milik saudaranya temanku yang mengantarku ke sana bisa masuk hingga kawasan Lautan Pasir.

Lautan pasir yang biasanya kering, kini basah oleh air hujan. Kabut tebal datang silih berganti. Rinai hujan terus mengguyur membasahi bumi. Ada banyak penyewa jasa kuda yang menawarkan diri. Perjalanan dari area parkir di Lautan Pasir menuju anak tangga dibanderol Rp. 125ribu per orang. Aku lebih memilih berjalan kaki, selain olahraga juga untuk menghemat biaya. Ternyata tak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke puncak Bromo. Hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit saja.

Wisata menuju Bromo akan terasa mahal jika datang sendirian. Biaya sewa kamar saja sekitar Rp. 200ribu – Rp.400 ribu, satu kamar bisa digunakan 3 – 4 orang. Wisatawan yang datang tanpa kendaraan pribadi umumnya menyewa hartop (sejenis mobil jeep) untuk sampai ke berbagai objek wisata di Kawasan Bromo. Biaya sewanya antara Rp. 600ribu – Rp. 700ribu dengan kapasitas penumpang 4-6 orang.

Aku pun melanjutkan perjalananku menaiki anak tangga. Kata Teko Tato, pemandu wisata di sana, ada 253 anak tangga yang harus dilewati. Namun, saat kuhitung ternyata hanya ada 243 anak tangga. Lalu kemanakah perginya 10 anak tangga yang lainnya ? entahlah. Mungkin aku yang salah menghitung atau memang jumlah anak tangganya hanya 240. Wallohu ‘Alam.

Objek menarik yang sering dikunjungi wisatawan diantaranya Bukit Pananjakan I dan II, Bukit Cinta, Bukit Kingkong, Watu Kuto, Bukit Teletubies (Savana) dan Pasir Berbisik. Biasanya wisatawan yang menyewa hartop mulai berangkat mengunjungi spot-spot menarik di Bromo ini sekitar pukul 02.00 atau 03.00. Wisatawan akan diajak menuju Pananjakan untuk melihat sunrise. Menikmati padang savana di Bukit Teletubies, menyesap keindahan pasir berbisik hingga mengunjungi Watu Kuto yang antik.

Tak banyak tanaman yang bisa hidup di sini. Menurut Siswoyo, seorang pencari bunga di Gunung Bromo mengatakan ada bunga-bunga cantik yang hidup di sini. Diantaranya bunga Edelweis, Lavender, Padi Gunung, Bunga Matahari, Mawar Gunung, Kepyur dan Bulu Kucing. Ada juga tanaman bluberry gunung yang di sini dikenal dengan Setinggi. Satu paket kombinasi bunga ini dihargai Rp. 20ribu.

Bromo Oh Bromo, dirimu telah menyita perhatianku. Aku berharap suatu saat bisa kembali menyapamu. Perjalanan menyusuri punggung tubuhmu benar-benar semakin membukakan mata basirohku akan kebesaran Alloh SWT. 


Malang, 25 Maret 2016

Sabtu, 12 Maret 2016

Seberkas Cahaya di Kaki Gunung Setugel


Saat kita berada di dalam kegelapan maka tugas kita adalah menyalakan cahaya agar semua terlihat nyata. Seberkas cahaya lilin lebih berarti daripada tak ada terang sama sekali. Jadilah penyala agar hati dan pikiran seterang cahaya rembulan.
 
Tak terpikirkan sama sekali olehku menjadi salah satu penyala di pelosok negeri bernama Indonesia. Sebuah pilihan hidup yang harus dijalani walau tak mudah. Setiap kesulitan yang mendera memberikan banyak pelajaran tentang makna kehidupan yang sesungguhnya. Kini aku mendedikasikan diri di sebuah dusun-dusun mungil di Kaki Gunung Setugel. Tepatnya di Dusun Gumuk dan Genting, Magelang, Jawa Tengah. Dusun terpencil yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota yang terkadang melenakan.
Masyarakat di dua dusun ini rata-rata menjadi penganyam dhodho, keranjang bambu yang biasa digunakan memuat sayuran seperti kubis, timun, dan lainnya. Anak-anak di sini sangat lugu dan rata-rata memiliki minat yang rendah untuk bersekolah. Biasanya selepas lulus SD atau SMP mereka membantu orangtua, menanam sayuran di ladang. Untungnya mereka masih memiliki minat yang besar untuk belajar agama melalui Taman Pendidikan Alquran (TPA). 

Mengajar TPA itu seperti membuat sebuah genteng. Setelah tanah liat ada tinggal diolah. Dibentuk, dicetak, dijemur, dibakar hingga genteng siap digunakan. Begitupun anak-anak perlu diarahkan dan diberi pemahaman bagaimana cara menjalani kehidupan sesuai aturan Sang Pencipta. Menghadapi anak-anak dengan berbagai karakter itu memiliki tantangan tersendiri. Ada yang sifatnya keras kepala, pemalu, manja, cuek hingga perhatian dan penuh kasih sayang.




Kelas TPA di dua dusun ini masing-masing dibuka hanya 3 hari dalam sepekan. TPA Dusun Gumuk setiap Senin, Kamis dan Jumat. Sementara Dusun Genting setiap Selasa, Rabu dan Sabtu. Selain belajar membaca Alquran dengan metode iqro kegiatan lainnya pun digelar. Setiap hari Senin dan Kamis ada buka puasa bersama. Anak-anak dilatih untuk mengikuti sunnah rosululloh. Memang tidak semua anak berpuasa namun ini akan menjadi pelajaran berarti saat mereka dewasa kelak. Momen yang sangat berharga, saat mereka membaca doa berbuka puasa bersama sesuai dengan bacaan yang dicontohkan rosululloh.

“Dzahabad dhoma u wabtal latil ‘uruqu watsabatal ajru, insya alloh. Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah serta pahala telah tetap, isnya alloh.”

Itu momen berharga yang “nyess” di hati. Lisan-lisan mungil mereka begitu fasih melantunkan doa berbuka puasa yang dibaca setiap dua pekan sekali.
Setiap hari Jumat ada kegiatan gosok gigi bersama. Mengenalkan cara menyikat gigi yang benar dan mengenalkan siwak yang biasa digunakan Rosululloh. Setiap hari jumat kita disunnahkan membaca surat Al-Kahfi, maka anak-anak yang telah bisa membaca Alquran mengadakan tadarus alquran. Satu anak membaca ayat per ayat yang lainnya menyimak, membetulkan bacaan temannya jika salah dalam membaca. Begitu seterusnya secara bergantian. 

Lilin yang tengah kunyalakan kini mulai menunjukkan sinarnya. Belum seterang bulan, memang, apalagi secerah sinar mentari. Namun, itu akan sangat berarti ketimbang mengutuk kegelapan tiada henti. #Wallohu ‘Alam.
                                               
                                                                                                            Magelang, 13 Maret 2016

Sabtu, 13 Februari 2016

Perjalanan Bak Potongan Puzzle

Alloh yang menuntun kita untuk melakukan banyak perjalanan.

Nga Pa Ya



Membersamai anak-anak saat belajar mengeja huruf-huruf dalam Alquran memberikan kesan tersendiri buatku. Mengajari anak-anak yang berasal dari latarbelakang suku dan daerah yang berbeda saat melafalkan huruf hijaiyah ada keunikan tersendiri. Aksen dialek mereka ternyata susah dihilangkan begitu saja. Butuh ketelatenan agar mereka bisa melafalkan huruf hijaiyah dengan sempurna. 

Semua berawal saat aku mengajar Taman Pendidikan Alquran ( TPA ) di Ambarawa, sebuah desa di Lampung yang didominasi oleh suku Jawa dengan aksen Ngapak. Anak-anak disana susah sekali melafalkan huruf ‘Ain dengan baik. Aku sendiri yang juga berbahasa Jawa Ngapak masih terus belajar untuk bisa melafalkan huruf ‘ain dengan sempurna (hehehe). Saat mengajari mereka huruf ‘ain selalu dibaca “Ngain”. Berkali-kali diulang, ‘Ain tetap saja dibaca Ngain. Pelafalan ‘A dalam lidah mereka sudah terbiasa dibaca Nga. Benar-benar dah, kudu sabar. Tapi, lama-lama kalau diulang-ulang terus mereka juga akan terbiasa membaca huruf ‘ain dengan baik. Iya enggak ?

Lain lagi, saat aku mengajar TPA di Tatar Sunda, tepatnya di Pamijahan-Bogor, Jawa Barat. Walau hanya sebulan membersamai bocil-bocil dengan aksen sunda yang begitu kental, tapi aku mampu merasakan aura yang berbeda saat mereka mulai melafalkan huruf hijaiyah, khususnya huruf Fa. Mulai dari bocah piyik yang belum sekolah hingga anak SMP yang rajin mengaji TPA rata-rata mereka susah melafalkan huruf Fa. Huruf Fa selalu dibaca Pa. Harus sabar dan tekun mengajari mereka agar bisa membaca dengan benar. Misalnya, Salah satu muridku, Lutfi, kelas 1 SMP. Dia termasuk yang kesusahan melafakan huruf Fa.
Lutfi ayo baca, huruf ‘Fa”.
“Pa,” jawab dia. “
Bukan Pa, tapi Fa, “ timpalku.
Ayo, coba ulang lagi. “ Fa, Fa, Fa,” teriakku.
“Fa, Pa, Fa,” jawabnya lagi.
“Bukan, Pa tapi Fa. Ayo coba ulang lagi, Fa, Fa, Fa,” kataku.
“Fa, Pfa , Pa,” ulang dia dengan penuh tertatih.
 #SabarSampaiDiaBisaBacaDenganBenar #SabarSabarSabar

Pengalaman kali ini juga tak kalah serunya. Membersamai anak-anak TPA di Lereng Merapi-Merbabu, Magelang, Jawa Tengah. Kesulitan anak-anak disini dalam melafalkan huruf Za. Huruf Za selalu dibaca Ya. Jadi, kalau bilang Zakat itu Yakat, Zamzam dibaca Yamyam, Zaitun dibaca Yaitun dan masih banyak yang lainnya. Hampir semua murid di sini kesulitan mengucapkan huruf Za. Salah satu murid TPA-ku, Viki, mengalami hal ini. Berkali-kali, mengucapkan huruf Za pasti dibaca Ya. Aku perhatikan orang tua di sini pun melafalkan Za menjadi Ya. Oalah.... iki tho masalaeh. Yo wis nek ngono.

Pengalaman memberiku banyak pelajaran yang tak kutemui di bangku sekolah. Dengan melakukan sebuah perjalanan banyak hikmah yang kupetik. Perjalanan itu ibarat potongan puzzle yang berserakan dan tugas kita adalah menyatukan kembali potongan-potongan puzzle itu agar terlihat sempurna. Wallohu ‘Alam.

*Bocil : Bocah Cilik
*Piyik : Anak usia pra sekolah

Anak-anak itu laksana buku yang banyak bercerita


Perjalanan banyak memberiku kesan. Kesan berjumpa dengan banyak orang dengan segala polahnya. Qodarulloh, Alloh mempertemukanku dengan anak-anak di Dusun Gumuk. Sebuah dusun kecil yang dipenuhi jurang-jurang mungil di bawah kaki Gunung Setugel, Magelang, Jawa Tengah.  Tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya akan berjumpa dengan mereka. Apalagi membersamai mereka hingga saat ini. Melalui kelas baca Alquran di sebuah surau di pinggir perkampungan.


Dalam sepekan aku bertemu dengan mereka 4 kali, tepatnya setiap Hari Senin, Rabu, Kamis dan Jumat. Itulah hari dimana aku bisa membuka lembar demi lembar setiap kisah dari sebuah buku berjudul anak-anak. Kisah yang disuguhkan sangat berragam dan tidak menjemukan. Mulai dari kisah yang menggembirakan yang tiba-tiba membuatku tertawa. Hingga kisah menyedihkan yang aku pun tak kuasa menitikkan air mata. Sebuah buku yang tak pernah kudapatkan di toko buku manapun. 

Saat kubuka lembar pertama aku terkesima dengan kisah Salimna. Gadis kecil yang paling fasih membaca Alquran. Usianya sekitar 10 tahun. Sehabis pulang sekolah waktunya dihabiskan membuat keranjang-keranjang dhodho untuk dijual. Kini, ia mulai mengenakan hijab syari yang tidak transparan lagi. Jilbab-jilbab tipisnya didobel agar terlihat tebal. Alhasil, kini ia bisa tampil dengan busana sempurna. Ingat ini di sebuah dusun kecil di pedalaman, lho. Tak gampang menemukan perempuan berjilbab lebar.

Kubuka lembaran lainnya, kutemukan kisah seorang gadis berusia 12 tahun bernama Nurul. Ia anak yang “istimewa”. Perkembangan fisiknya sempurna namun pola pikirnya seperti anak TK. Saat ditanya “A” ia akan menjawab “B”. Wowwww,,, ajaib bukan ?. Ia baru Iqro satu, pengenalan huruf “Alif” dan “Ba”. Huruf Alif dibaca A jika ditambah fathah, cara mengucapkannya di tenggorokan bagian bawah. Sementara huruf “Ba” dibaca dengan cara kedua bibir bertemu dalam keadaan tertutup. “Wow, Nurul bisa mengucapkannya dengan sempurna”. Sungguh kesempurnaan Alloh yang tiada tara. Dibalik kekurangan anak-anak yang menyandang status “istimewa” ada banyak kelebihan yang kutemukan dalam diri mereka. Aih, Nurul, Nurul ... ! Aku tak ingin terlalu lama membaca kisahmu. Aku tak ingin “butiran kristal bening” keluar dari kedua kelopak mataku. 

Ada kisah tentang Siti Jarti. Usianya baru 10 tahun. Saat mengaji ia selalu mengenakan hijab syari berwarna biru tua lengkap dengan baju gamisnya. Sepintas ia seperti anak orang kaya. Namun, saat aku membaca lebih dalam kisahnya aku hampir menitikkan air mata. Ia harus tidur diatas tumpukan batu-bata yang disusun berselimutkan kasur tipis tanpa ranjang. Ayahnya rela mengorbankan sedikit pendapatannya untuk membelikan baju anaknya agar tampil sempurna saat mengaji. Pengorbanan yang luar biasa. 

Aku menitikkan air mata saat membaca lembar-lembar yang berisi tentang keinginan mereka menuju Mekkah. Untuk melakukan ibadah haji maupun umroh. Anak-anak polos itu menyadari kondisi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, anak-anak itu punya Alloh yang Maha Kaya. Yang Maha Mendengar doa hamba-hambanya. Mereka optimis dan tak pernah putus asa sedikit pun. Setiap kelas baca Alquran berakhir, dengan dibimbing guru mereka, doa dengan penuh kekhusyuan agar bisa ke Mekkah dipanjatkan. Semua terdiam tak ada yang berkata sepatah kata pun. Mereka duduk bersila, tangan mungil mereka menengadah sebagai tanda meminta pada Yang Maha Kuasa.  Air mata membasahi pipi-pipi mereka. Mereka semua menangis sesegukan. Mereka benar-benar ingin ke Mekkah, itu terpancar jelas dari raut wajah mereka. Mata merah dengan berlinang air mata masih saja terlihat saat doa selesai dipanjatkan. Aku tak kuasa membaca lembar berikutnya. Aku hanya berharap suatu saat bisa membaca lembar berikutnya tentang pengalaman mereka dan guru yang sangat disayanginya saat berada di Mekkah. Aamiin.
Aku masih di sini, membaca lembar demi lembar kisah yang ada dalam buku ini. Segala rasa dalam batinku seperti dicampuraduk tak karuan. Masih banyak kisah-kisah lainnya yang tak bisa kuceritakan pada kalian. Coba dan rasakan langsung dengan membaca kisah-kisah mereka di Kaki Gunung Setugel ini. Mungkin akan ada sedikit hikmah yang bisa dijadikan pelajaran.

*Keranjang dhodho : keranjang yang digunakan untuk menampung sayuran, biasanya kubis dan terbuat dari bilahan-bilahan bambu yang dianyam.

Pages