Minggu, 29 Desember 2013

Keliling Rajabasa Raya melihat prosesi Bejuluk Buadok, prosesi pemberian adok suku Lampung Marga Tiyuh Balak Way Kanan

Suku Lampung merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah Indonesia. Berragam seni budaya yang dimilikinya merupakan aset bangsa yang perlu terus dilestarikan. Salah satu upacara adat suku Lampung yang masih lestari hingga kini adalah upacara  bejuluk buadok. Bejuluk buadok sendiri termasuk dalam lima falsafah hidup suku Lampung selain Nemui Nyimah, Piil Pesenggiri, Nengah Nyappur dan Sakai Sambayan. Kelima falsafah ini masih terus dipegang oleh suku Lampung baik pepadun maupun saibatin. Suku Lampung yang berasal dari klien pepadun biasanya mendiami wilayah dataran, pegunungan maupun pedalaman. Sedangkan suku Lampung yang dikelompokkan dalam klien saibatin biasanya mendiami wilayah pesisir, baik di pinggir sungai maupun laut. Bahasa mereka juga dikelompokkan menjadi dua dialek, yakni dialek api dan nyow.

Pada Ahad, 22 Desember 2013 saya sempat mengikuti prosesi upacara bejuluk buadok marga Tiuh Balak Way Kanan. Prosesi ini dilaksanakan pada saat resepsi pernikahan kyai Azwin Nurkholis dan wo Roki Nurhera. Salah satu tokoh adat setempat, Bapak Hamidi didapuk sebagai pemimpin upacara adat tersebut. Beliau naik keatas panggung tanda upacara adat akan segera dimulai. Suasana begitu hikmat. Mula-mula ia menyapa para pendengar dengan sapaan khas Lampung. “ Tabik pun ” , suara itu menggema memenuhi seisi ruangan. “ Ya, pun “ jawab para pendengar dengan syahdu. Sebagian peserta upacara adat memang berasal dari suku Jawa. Wo Roki Nurhera sendiri berasal dari suku Jawa. Maka wajar saja jika sebagian besar pesertanya merupakan suku Jawa.

Sebagian besar mereka baru tahu sapaan khas Lampung ini walaupun mereka telah lama tinggal di Lampung. Bagi suku Lampung, sapaan tabik pun, merupakan hal yang wajar dan biasa, karena sapaan ini sering diperdengarkan dalam upacara-upacara adat. Tapi, bagi suku di luar Lampung, ini merupakan hal yang “ luar biasa ” bagi mereka. Maka, secara tidak langsung dalam upacara adat bejuluk buadok kali ini juga bisa dijadikan sebagai ajang untuk transfer of culture.

Pada prosesi bejuluk buadok kali ini memang tidak serumit upacara bejuluk buadok yang seperti biasanya. Upacara bejuluk buadok biasanya masuk dalam rangkaian upacara begawi yang diadakan selama 7 hari 7 malam. Kerbau merupakan binatang yang biasanya tak pernah absen setiap begawi digelar.
Tak berapa lama, Pak Hamidi selaku tokoh adat setempat melakukan tradisi angkonan. Roki Nurhera mempelai wanita yang berasal dari suku Jawa diangkat sebagai “anak kandung”. Hal ini dilakukan agar setiap ada upacara adat yang digelar oleh masyarakat adat marga Tiuh Balak, Roki bisa diterima dan diikutsertakan. Hal ini tentu akan lain ceritanya jika Roki tidak mengikuti aturan adat ini.

Kain tapis tujuh warna, uang adat kelipatan dua puluh empat ataupun prosesi minum dengan gelas yang ditukar tidak saya temukan pada tradisi angkonan kali ini. Memang, tradisi angkonan kali ini diadakan dengan cara yang sederhana. Prosesi angkonan kali ini hanya dengan membacakan melalui teks tertulis bahwa Roki Nurhera diangkat sebagai anak kandung dari tokoh adat tersebut. Dan kini, Roki secara sah bisa diterima keluarga besar mempelai pria.

Berfoto bersama mempelai wanita dan pria usai pemberian adok


Selepas prosesi angkonan, prosesi selanjutnya adalah inti dari upacara bejuluk buadok yakni pemberian adok ( gelar ). Kyai Azwin Nurkholis yang memakai kain tumpal dengan kopiah emas dikepalanya mendapatkan gelar Rajo Gusti sedangkan wo Roki Nurhera yang berbalut kain tapis dan siger balak di kepalanya kini bergelar Sangun Ratu. Maka, kini dalam kehidupan keseharian mereka dipanggil sesuai dengan gelar mereka. Makna dari upacara adat ini adalah bahwa setiap anak manusia harus harus tahu dengan jelas silsilah keluarganya. Itulah sebabnya upacara adat bejuluk buadok terus dilestarikan oleh suku Lampung hingga kini. Mari bersama-sama kita terus lestarikan adat budaya Lampung. Mak kham sapa lagi, mak ganta kapan lagi. Tabik.

Kamis, 05 Desember 2013

Ngajakh khik Midokh di Pulau Pahawang


Pulau Pahawang


Ahad, 7 Oktober 2012  rekan-rekan Sahabat Pulau Lampung (SPL) sudah berada di sekitar Gedung PKM Universitas Lampung begitu juga Alumni Program Kapal Pemuda Nusantara. Angkot jurusan Rajabasa-Tanjung Karang milik Pak Kembar dan rekannya siap mengantar kami menuju Dermaga Ketapang. 

Dermaga Ketapang merupakan salah satu jalur menuju Pulau Pahawang. Para relawan Sahabat Pulau ini merupakan orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat pesisir. Pendidikan berkarakter lebih mereka tekankan kepada anak-anak didiknya di Pulau Pahawang.


Perahu-perahu bersandar di Dermaga Ketapang

Angkot Pak kembar segera meluncur saat semua peserta sudah berkumpul. Saya beserta Nur’aini yang merupakan Alumni KPN 2012 ikut rombongan Sahabat Pulau Lampung. Sementara Elsa dan Regen mengendarai motor. 

Tak lama untuk mencapai Pulau Pahawang dari kota Bandar Lampung. Kami melewati Tanjung Karang Pusat, yang merupakan pusat Kota Bandar Lampung. Sampai di Teluk Betung kita akan menjumpai kawasan pecinan. Deretan toko-toko yang sudah usang namun unik berpadu dengan bangunan-bangunan bernuansa etnis China. Itulah keunikan Teluk Betung. 

Jalanan yang mulus dan lumayan lebar membuat nyaman perjalanan. Tak berapa lama kami sampai di tanjakan Teluk Lampung. Pemandangan Teluk Lampung begitu memikat, dengan gugusan pulau-pulau kecil seperti surga yang jatuh dari langit. Birunya air laut berpadu dengan deretan pohon kelapa menambah keindahan alam Lampung.

Satu jam kemudian sampailah kami di Dermaga Ketapang. Kapal-kapal milik warga setempat bersandar di pinggir dermaga. Dari dermaga, kami menyebrang ke pulau Pahawang dengan ongkos Rp. 15.000 sekali jalan. Sementara untuk menyebrang ke Pulau Legundi yang lebih jauh dan menggunakan perahu yang lebih besar dikenakan tarif Rp. 30.000.


Perahu siap menuju Pulau Pahawang


 Perahu bertuliskan “Putra Mesar” ini mengantarkan kami menuju Pulau Pahawang. Perahu bermuatan 21 penumpang. Delapan orang di bagian belakang sementara di bagian depan ada tiga belas orang. Nahkoda kapal didampingi satu orang, katakanlah ABK duduk disamping nakhoda. Tugas ABK ini adalah membuang air yang masuk ke kapal. Hemmmm.... luar biasa, perahu ini.  


Suasana di Perjalanan menuju Pulau Pahawang

Sepanjang perjalanan, birunya laut menjadi pemandangan utama. Sementara itu, gunung-gunung yang meranggas berdiri tegak mengelilingi lautan nun jauh disana. Pertanda musim kemarau melanda. Pulau terdekat sepanjang perjalanan adalah Pulau Klagian besar dan Kalgian kecil. Pohon-pohon bakau (mangrove) yang rimbun terlihat mengelilingi Pulau Klagian Besar.


Pantai Pulau Klagian


 Belasan penduduk setempat juga terlihat memancing di sekitar Pulau Klagian. Cara memancing mereka sangatlah unik, yakni mereka membenamkan sebagian tubuh mereka ke laut hingga batas pinggang.

Nelayan mencari ikan dengan perahu





 
  







Hutan Mangrove di Pulau Klagian


Satu jam, sampai di Pulau Pahawang

Para Sahabat Pulau Lampung cukup menikmati pemandangan yang ada sembari bercengkrama. Saya dan Regen asyik berfoto. Memotret keindahan alam Lampung yang belum tergali secara optimal. Sekitar satu jam perjalanan dari dermaga Ketapang sampailah kami di dermaga Penggetahan desa Pulau Pahawang Kecamatan Punduh Pidada Kabupaten Pesawaran. 

Dermaga Penggetahan merupakan dermaga paling ramai di pulau Pahawang. Rumah-rumah nelayan berjajar rapih di kaki gunung Penggetahan. Masjid Penggetahan berdiri dengan kokohnya berdampingan dengan kantor kepala desa Pulau Pahawang. 



 Dermaga Penggetahan


Balai agung, demikian saya menyebut sebuah bangunan tempat rekan-rekan Sahabat Pulau Lampung mengajarkan nilai-nilai moral berkarakter kepada anak-anak Pulau Pahawang. Lapangan yang cukup luas terhampar di depan Balai Agung. Rumah-rumah disini cukuplah bagus. Hanya beberapa rumah yang menurut saya kurang layak huni.

 Perekonomian warga disini juga cukup bagus. Tapi, jangan tanya untuk masalah pendidikan. Tidak ada SD maupun SMP apalagi SMA di dusun Penggetahan ini. Anak-anak dusun Penggetahan harus keluar dusun untuk bersekolah. Dengan berjalan kaki atau diantar motor jika orang tua mereka memiliki motor. 

Sesampainya di dermaga Penggetahan anak-anak sudah menyambut kami. Ari dan Bang Acho sedang bermain games dengan mereka. Mereka senang kami datang. Kami segera berbaur bersama anak-anak Pulau Pahawang di Balai Agung. Para Sahabat Pulau Lampung bercengkrama dan begitu dekat dengan anak-anak pulau ini. Anak-anak ini seperti menemukan oase di tengah gurun yang kering. 


 
Evi (jilbab biru) dan Elsa sedang mengajar anak-anak Pulau Pahawang


Rekan-rekan Sahabat Pulau ini mengajari anak-anak Pulau Pahawang dengan hati. Sesuatu yang disampaikan dari hati biasanya lebih mengena dan terasa. ”nyesssssss”, begitulah kira-kira rasanya. Ada yang mengajari membaca, berhitung, games ataupun kegiatan-kegiatan yang mengasah otak.

Spot Cuku Bedil yang Exotic

Cuku Bedil adalah salah satu spot menarik untuk menyelam. Bahkan kita bisa melihat dengan jelas terumbu karang dari atas perahu yang kami tumpangi. Cuku Bedil terletak di sisi barat dusun Penggetahan. Melalui dusun Penggetahan ke Cuku Bedil bisa ditempuh dengan perahu atau berjalan kaki. Saya pun pernah mencoba kedua jalur tersebut. Jarak termpuhnya sekitar 20 menit dengan berjalan kaki. Pemandangan alama yang berpadu dengan birunya laut begitu memikat.

Villa berornamen ukiran Jawa berdiri dengan anggunnya di kawasan Cuku Bedil. Ada beberapa perahu yang bersandar, berbaris rapih seperti dikomandoi oleh seorang instruktur. Pasir Pantai Cuku Bedil sangatlah halus. Mirip seperti tepung. Menurutku pasir pantai ini berbeda dengan pantai-pantai yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Jika Anda tidak percaya, sabaiknya Anda langsung ke Cuku Bedil untuk melihat pasir yang unik itu. Saking kagumnya, saya pun berulang-ulang memegang pasir yang terhampar luas.
 Saya begitu menikmati aktivitas memotret pemandangan di Kawasan Cuku Bedil. Bahkan, sampai-sampai kamera Elsa, rekan saya habis baterai. Rekan Sahabat Pulau Jakarta pun meminjamkan kameranya kepada saya. Kamera SLR, kamera yang sangat saya inginkan. Hehehehehe. 

Waktu Ashar tiba, saya beserta teman-teman lainnya segera sholat Ashar. Perahu yang akan mengantarkan kami kembali ke dermaga Ketapang sudah menunggu sedari tadi. Beberapa rekan dari Sahabat Pulau Lampung berangkat lebih dahulu. Saya memutuskan untuk mengikuti perahu kedua. Perahu dengan ukuran yang sama.

Tak berapa lama perahu pertama berlayar, perahu kedua yang kami tumpangi pun menyusul. Baru beberapa saat berlayar, perahu yang kami tumpangi menabrak batu karang. Hampir saja perahu ini oleng. Titik kemiringan sudah melampaui batas. Saya merasa takut sekali. Kekhawatiran tampak jelas dari raut wajah para penumpang. Tidak hanya sekali, untuk kedua kalinya perahu ini lagi-lagi menabrak batu karang. 

Pemandangan batu karang tampak begitu jelas bahkan bisa dilihat dengan mata telanjang. Kapal akhirnya mundur, beberapa penumpang yang naik di atap kapal turun. Kami hanya berharap semoga kapal ini tidak menabrak batu karang lagi. Alhamdulillah, akhirnya kapal kembali berlayar. Gelombang besar menemani perjalanan kami, hingga Dermaga Ketapang.


 
Balai Agung, tempat anak-anak belajar



Ayo Baronda ke Kota Seribu Benteng, Ternate


 Landmark Kota, Masjid Apung Kota Ternate, Masjid Al-Munawar



Pada 12 September 2012 lalu saya berkesempatan mengunjungi kota Ternate. Kebetulan kapal yang mengantarkan kami, para peserta Sail Morotai 2012 singgah di Kota Ternate sebelum berlayar menuju Pulau Morotai. Banyak sekali tempat wisata menarik yang bisa kita kunjungi di sekitar kota Ternate. Sesampainya di Pelabuhan Ahmad Yani Kota Ternate kami disambut dengan tari Soya-soya yang merupakan tarian khas kesultanan Ternate yang biasa digunakan untuk menyambut tamu. 


Penari Soya-Soya


 Kami langsung menuju Floridas. Restauran yang menyediakan menu khas Maluku Utara. Mulai dari sagu, papeda, kuah kuning serta berragam menu spesial lainnya. "Ups,,, ada Pulau Maitara. Itu, tuh, pulau yang ada di gambar uang seribu rupiah. Pulau Maitara tampak jelas sekali dari Floridas.

Pulau Maitara "ingat uang seribu"




 Gunung Gamalama tampak menjadi backgroud kota Ternate. Kota Ternate berada di kaki Gunung Gamalama yang masih aktif hingga sekarang. Hawa udara di kota Ternate lebih sejuk dibandingkan dengan kota lainnya yang telah kami singgahi seperti Ambon dan Sorong. Dari pelabuhan Ahmad Yani kami menuju kelurahan Tabam dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam menggunakan bus. Disanalah kami, para peserta Sail Morotai menginap dan memiliki keluarga angkat.


Saya singgah di Kota Ternate selama tiga hari. Untuk mencapai Kota Ternate dari Jakarta Anda bisa menempuh jalur laut lewat Pelabuhan Tanjung Priok dengan biaya sekitar 500.000 dengan rute Jakarta – Surabaya – Makasar – Ternate. Sedangkan untuk jalur udara Anda bisa menggunakan pesawat yang langsung menuju Jakarta – Ternate dengan biaya 1.200.000 sekali jalan. Namun, ada beberapa pesawat juga yang melayani rute perjalanan ke Ternate dengan transit di Makasar atau Manado terlebih dahulu. Selama di kota ini saya baronda ke beberapa tempat menarik. Baronda dalam bahasa setempat berarti jalan-jalan. Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Keraton dan Museum  Kesultanan Ternate ( Kedaton ). Bangunan khas Maluku Utara ini didominasi warna hijau dan krem. Bangunan berlantai dua nan kokoh ini didirikan pada tanggal 24 November 1813 oleh Sultan Ternate ke-40, Muhammad Ali. Keraton Kesultanan Ternate ini terletak di bukit Limau Santosa dengan luas areal 44,560 m2. Objek wisata ini terletak di kelurahan Soa-sio kecamatan Kota Ternate Utara. Arsitektur bangunan ini berbentuk seekor singa yang sedang duduk dengan dua kaki di depan menopang kepalanya. 



Istana Kesultanan Ternate ( Kedaton )


Ada tiga tiang bendera yang terletak di depan kedaton ini, dua diantaranya yakni tiang bendera Kesultanan Ternate dan tiang bendera Merah Putih. Saya pun mengelilingi gedung indah nan megah ini. Bahkan saya berkesempatan bertemu dan mengobrol dengan sekretaris Kesultanan Ternate. Ada dua tangga yang terletak di bangunan ini. Saat ini, ruang tengahnya difungsikan sebagai museum dengan koleksi benda-benda budaya dan peninggalan sejarah Kesultanan Ternate di masa lalu, diantaranya Al-qur’an tulis tangan, Kelapa kembar (upeti dari raja Sangir), peralatan perang, perkakas-perkakas, baju Sultan, Singgasana dan koleksi-koleksi lainnya.


  
Koleksi museum Kesultanan Ternate - Maluku Utara


 Ada koleksi yang paling unik di Museum ini, tetapi tidak sembarang orang bisa masuk untuk melihatnya. Mahkota Sultan Ternate (stampa), itulah benda yang saya maksud. Mahkota Sultan Ternate (Stampa) merupakan mahkota berrambut yang dihiasi dengan 100 buah batu-batuan permata seperti mutiara, Berlian, Safir, Akik, Jamrud Mira’a, Emas, Perak, Perunggu, dan lain-lain. Konon katanya, rambut yang ada pada mahkota ini senantiasa tumbuh dan dipotong pada saat Hari Raya Idul Adha. Saya sendiri hanya bisa melihat ruangan tempat mahkota itu disimpan.



Puas mengelilingi Keraton dan Museum Kesultanan Ternate ( Kedaton ) ini saya  langsung mengunjungi Masjid Sultan Ternate. Biasanya warga disini menyembutnya Sigi Lamo. Sigi berarti masjid dan lamo berarti besar. Saya cukup berjalan kaki saja untuk mencapai masjid ini dari Kedaton. Saya membutuhkan waktu sekitar lima menit saja. Sesampainya di sana saya langsung disambut gapura dengan ornamen khas Ternate yang memiliki tangga disamping kirinya. 


Gapura Masjid Sultan Ternate ( Sigi Lamo ) yang berdiri kokoh di depan masjid.

Masjid Sultan Ternate mulai dibangun pada tahun 1606 saat berkuasa Sultan Ternate ke-28, Saidi Barakati. Setelah tiga periode kepemimpinan, pada masa pemerintahan Sultan Hamzah barulah masjid ini selesai dibangun tepatnya pada tahun 1648. Bahan bangunan masjid ini terdiri atas batu dengan perekatnya menggunakan campuran kulit kayu pohon kalumpang, dengan bangunan bentuk segi empat, dimana atapnya mengadopsi bentuk tumpang limas dan tiap tumpang dipenuhi terali berukir 360 buah sesuai dengan jumlah hari dalam satu tahun.

 Setiap jamaah yang hendak sholat di masjid Sultan Ternate ini wajib mengenakan kopiah. Bagi Anda yang hendak berkunjung ke Masjid Sultan Ternate tetapi Anda tidak membawa kopiah, Anda jangan khawatir karena marbot (penjaga masjid) telah menyediakan kopiah yang tersusun rapih di dekat pintu masuk masjid. Masjid Sultan Ternate memiliki dua mushola kecil di dua sisinya yang biasa digunakan untuk jamaah wanita maupun untuk mengaji anak-anak kecil di sekitar kota Ternate. 

Bangunan masjid ini pada bagian atapnya berlapis lima tingkat yang menandakan rukun islam. Bagian dalam masjid masih sangat tradisional. Mihrab yang memang khusus digunakan untuk sholat sultan berada di sebelah kanan tempat imam. Bagian dalam atap masjid didominasi warna hijau yang memukau. Tiang-tiang penyangga tampak kokoh berdiri. Memasuki Masjid Sultan ternate ini kita seakan dibawa menuju masa keemasan Kesultanan Ternate, Kerajaan Islam yang sangat mashur di Indonesia.



 Masjid Kesultanan Ternate atau yang lebih dikenal dengan Sigi Lamo. Dalam bahasa setempat Sigi berarti masjid sedangkan Lamo berarti Besar.



 Sigi Lamo ( dari samping )


Mengunjungi kawasan Pantai Jembatan Batu

Tak jauh dari Kedaton Sultan Ternate kita bisa mengunjungi pantai Jembatan Batu. Selepas mengunjungi Masjid Sultan Ternate saya juga menyempatkan diri untuk berkunjung ke Pantai Jembatan Batu. Birunya air pantai langsung menyapa saat saya memasuki kawasan pantai ini. Jarak dari Kedaton ke Pantai ini sekitar 500 meter. Saya cukup  berjalan kaki ketika mengunjungi pantai ini.




Sahabat Bengkulu, Handri berpose di Jembatan Batu tak jauh dari Keraton dan Museum Kesultanan Ternate      


Banyak aktivitas yang bisa kita lakukan di pantai ini. Kita bisa memancing, snorkeling maupun berenang. Kawasan Pantai ini disebut Pantai Jembatan Batu, walaupun jembatan di pantai ini terbuat dari kayu.Pemandangan kota Ternate dibawah kaki Gunung  


 
Jembatan Batu, Kampung Bajo dan Gunung Gamalama


Kampung air suku bajo dan Ternate berada di samping pantai ini.Rumah panggung dengan arsitektur yang khas ini tampak berdiri kokoh dari kejaran ombak pantai Jembatan Batu.Saat ombak surut kita akan dengan mudah menjumpai tiang-tiang penyangga rumah suku Bajo ini.Namun, bila air sedang pasang jangan berharap.Rumah–rumah papan yang tersusun rapih di pinggir pantai ini menambah keelokan kota Ternate.



Kampung Air suku Bajo di dekat Jembatan Batu saat air laut surut.

Sayang sekali untuk Anda yang berkesempatan mengunjungi Kota Ternate ini tetapi tidak mengunjungi Jembatan Batu. Pantai Jembatan Batu ini memiliki air yang sangat jernih. Bahkan saya bisa melihat ikan-ikan yang berrenang dengan mata telanjang. Subhanalloh, luar biasa sekali ciptaan Allah SWT ini. 

Puas mengelilingi Pantai Jembatan batu ini saya langsung mencari angkot menuju Objek  Wisata Batu Angus. Angkot di kota Ternate memutar musik dengan suara yang sangat keras. Bahkan, sampai terdengar ke rumah-rumah warga. Menurut warga sekitar hal ini memang sudah menjadi hal yang lumrah di Ternate. Cukup dengan membayar 3 ribu rupiah saja kita bisa sampai di Wisata Batu Angus.

Batu Angus merupakan hamparan lahan yang dipenuhi bebatuan berwarna hitam. Bebatuan ini berasal dari lahar panas Gunung Gamalama yang meletus pada tahun 1673. Terletak di kaki Gunung Gamalama, perpaduan batu yang bagai stalaktit hitam dengan hijaunya Gunung Gamalama dan birunya laut Ternate menjadi sebuah pemandangan unik nan mempesona. 

Satu hal yang sayang sekali Anda lewatkan saat Anda Baronda ke Ternate. Batu Angus juga merupakan tugu peringatan dan makam tentara Jepang yang gugur dalam pertempuran melawan sekutu pada Perang Dunia II. Saya juga menyempatkan diri untuk memotret view yang menarik di sepanjang kawasan Batu Angus yang spektakuler ini. Saya  disuguhi dengan hamparan bebatuan yang begitu luas dan banyak sekali di kawasan ini. Puas berfoto dan mengelilingi Kawasan Wisata Batu Angus saya melanjutkan ke tempat wisata berikutnya di seputar Kota Ternate.



Wisata Batu Angus dengan latar Gunung Gamalama yang masih aktif hingga kini.


Tempat wisata berikutnya yang saya kunjungi adalah Danau Tolire Besar. Saya memutuskan naik sepeda motor bersama teman dari Ternate yang baru saya kenal, karena dari kawasan Batu Angus biasanya tidak ada angkot yang menuju ke Objek Wisata Danau Tolire Besar.

Berkunjung ke Danau Tolire Besar

Sepanjang perjalanan dari Batu Angus menuju Danau Tolire Besar kita akan disuguhi hijaunya pemandangan di sepanjang jalan. Rumah-rumah berbaris rapih mengikuti alur jalan. Akhirnya, sampailah juga saya di Danau Tolire Besar. Danau Tolire Besar merupakan salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan saat berkunjung ke Kota Ternate.

 Kita akan melewati danau Tolire Kecil di pinggir pantai sebelum kita sampai di danau Tolire Besar. Saya bersama teman-teman saya yang asli Ternate pun singgah sebentar di Danau Tolire Kecil walau  hanya sekedar berfoto dan menikmmati pemandangan danau yang terletak bersebelahan dengan pantai Ternate.




Danau Tolire Kecil




Pantai Ternate yang terletak bersebelahan dengan Danau Tolire Kecil.

Kita membutuhkan waktu sekitar 45 menit menggunakan sepeda motor untuk bisa sampai di danau Tolire Besar. Danau alam ini terletak di kecamatan Takome, sekitar 18 km dari pusat kota Ternate. Airnya yang berwarna hijau dikelilingi oleh pepohonan yang rindang di bawah kaki Gunung Gamalama tampak indah di pandang mata. 

Ada hal yang unik disini, saat kita melemparkan batu disini maka batu itu seolah-olah hilang entah kemana. Saya pun penasaran dan melempar batu ke arah danau, sepanjang penglihatan saya, batu itu hilang entah kemana. Saking asyiknya saya pun mencoba berkali-kali. 

Menurut Angga, teman saya yang asli Ternate, Danau Tolire Besar memiliki daya grafitasi yang sangat kuat. Makanya ketika kita melempar batu ke arah danau, seolah-olah batu itu menghilang ditelan bumi. Danau ini semakin memperlihatkan keindahan alam Indonesia. 

Danau Tolire Besar

Danau Tolire ini merupakan ciptaan dari Tuhan yang Maha Kuasa yang patut kita syukuri. Pengunjung bebas berfoto dan memasuki kawasan wisata ini tanpa dipungut biaya. Saya sangat puas baronda ke Kota Ternate. Lega rasanya sudah sampai di kota Ternate dan mengunjungi Danu Tolire Besar. Ayo Baronda ke Jazirah Al Mulk Kie Raha, Ternate.

Rabu, 04 Desember 2013

Pesona Danau Dua Propinsi, Danau Ranau



 
Danau Ranau dengan latar Gunung Seminung


Danau Ranau itulah objek wisata yang saya kunjungi bersama teman-teman kerja. Danau Ranau merupakan Danau terbesar kedua di Sumatera setelah Danau Toba. Perjalanan kami mulai dari Kotabumi, Lampung Utara.

 Jarak Bandar Lampung – Kotabumi bisa ditempuh sekitar 3 jam perjalanan dengan menggunakan mobil atau motor. Kami berangkat dari Kotabumi pukul 05.50 WIB pada Selasa, 13 Agustus 2013. 

Sepanjang perjalanan kami menemui banyak perkampungan khas Lampung yang masih terjaga. Disinilah beberapa sub-etnik Lampung berasal. Beberap sub-etnik itu yakni Lampung Abung, Sungkai, Bunga Mayang, Kotabumi, dll. Perkampungan Khas Lampung akan sangat terasa saat kita memasuki pekon (desa) di kecamatan Abung hingga Bukit Kemuning. 

Memasuki Kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat kita akan disambut dengan pemandangan pohon pinus di sisi kiri. Selebihnya kita akan melihat pemandangan yang cukup menakjubkan. Perjalanan yang tentunya sayang sekali untuk dilewatkan. 


 
Suasana pagi hari di Kawasan Puncak - Sumber Jaya - Lampung Barat


Kami sempat berhenti di Masjid Aminatul Jannah di kawasan Puncak Sumber Jaya. Demikian warga setempat menyebutnya. Kawasan ini sangat dingin dibandingkan dengan daerah lainnya di Lampung. Kami singgah sebentar di Masjid untuk sholat duha dan menikmati pemandangan alam yang luar biasa. Kabut masih menggelanyut di Pegunungan Bukit Barisan Selatan yang memanjang seolah mengitari kawasan Puncak ini. 


 
Masjid Aminatul Jannah


Masjid Aminatul Jannah ini dibangun oleh salah satu pengusaha kaya di Fajar Bulan, Bapak Dodi namanya. Masjidnya sangat unik, selain terletak di puncak juga model bangunannya yang bergaya India. Dengan warna-warna cerah yang mendominasi. Warna Kuning, putih dan merah tampak mendominasi. Ada tiga kubah kecil di setiap ujungnya dan ada satu kubah besar di bagian tengah. Sementara itu, Menara masjid tampak gagah berdiri di kawasan pegunungan ini.

 Mentari mulai muncul tanda kami harus melanjutkan perjalanan. Jika Anda ingin merasakan “the spirit of Lampung” maka berkunjunglah ke Lampung Barat. Selain banyak tradisi dan upacara adat yang masih lestari, disini juga banyak dijumpai perkampungan-perkampungan tradisional suku Lampung yang sangat khas dengan jajaran rumah panggungnya yang berdiri kokoh.

 Saat melewati kecamatan Batu brak tepatnya di pekon kegeringan kita akan menemui kepaksian pernong yang dulunya merupkan kerajaan Lampung yang sempat berjaya. Hingga kini kerajaan Pernong masih aktif mengikuti kegiatan-kegiatan Kerajaan Nusantara.

Danau Ranau

Sekitar pukul 11.25 WIB kami pun sampai di Danau Ranau. Ada dua jalur alternatif yang bisa kita tempuh untuk memasuki kawasan Danau Ranau. Anda bisa memasukinya lewat Kawasan Wisata Lumbok Resort di Lampung Barat. Tepat di perempatan pekon Pagar Dewa belok ke kanan maka Anda akan memasuki kawasan Lumbok Resort, ikuti jalan besar maka Anda akan sampai ke Danau Ranau. 

Tapi, kami menggunakan alternatif yang kedua, rute yang kami lewati Ogan Komering Ulu Selatan provinsi Sumatera Selatan. Kehidupan di perbatasan antar provinsi ini banyak didominasi oleh suku Ogan dan Lampung yang masih melestarikan tradisinya masing-masing. Tempat yang sangat cocok buat Anda para pencinta wisata budaya. Barisan rumah Panggung suku Lampung dan Ogan nyaris tak bisa dibedakan lagi. Hampir semuanya sama. 

Sesampainya di Danau Ranau kami semua langsung berfoto-foto. Buat Anda yang hobi berenang dan memancing juga bisa Anda lakukan disini. Penyewaan pakaian basahan sekitar Rp. 2000 dan untuk ban renang berkisar Rp. 3000 – 7000 tergantung ukuran ban. 


Sahabat : Syamsul, Ardi, Riko, Jarwo, Adi, Imam, Azam, kak Yanto dan Kholil



Bersama Sahabat Lampura - Riko


Tampak pengunjung memadati sepanjang bibir Danau Ranau untuk berrenang. Rasanya mungkin segar sekali. Buat Anda yang suka wisata kuliner, jangan khawatir banyak penjual makanan di Danau Air Tawar ini. Kami sengaja tidak berrenang, karena kami akan menyebrang ke Pulau Mariza dan Sumber Air Panas.

Mengunjungi Pulau Mariza dan Sumber Air Panas

Kami memutuskan untuk mengunjungi Pulau Mariza. Satu hal yang menggelitik batin saya. Namanya yang begitu “feminim”. Dengan menyewa perahu kecl berkapasitas 12 orang kami pun mulai menyisir Danau Ranau yang begitu mempesona. Cukup membayar Rp. 250.000 maka kita akan mengunjungi dua tempat wisata. Perjalanan dimulai dari Dermaga Pusri yang banyak menyewakan perahu-perahu khetek. 


 
Perahu siap melaju mengelilingi Danau Ranau



Azam siap menyebrangi Pulau Mariza


Sebenarnya ada beberapa tempat wisata lainnya yang bisa kita kunjungi seperti kampung adat Banding Agung, Makam Sipahit Lidah, Pekon Batu atau Lumbok Resort Lampung Barat. Untuk bisa mengelilingi itu semua membutuhkan biaya sekitar Rp. 1.500.000. 

Tapi kebanyakan wisatwan mengunjungi Pulau Mariza dan Sumber Air Panas di kawasan Teluk. Selain jarak tempuhnya yang dekat dengan Dermaga Pusri juga biayanya lebih murah. Tapi tetap, pilihan ada di tangan Anda. Jika Anda ingin menikmati semuanya saya rasa itu semua akan terbayarkan dengan pemandangan dan pengalaman yang akan kita dapatkan.

Asal Usul Pulau Mariza

Dari Dermaga Pusri menuju Pulau Mariza membutuhkan waktu sekitar 25 menit. Pulau Mariza merupakan pulau yang terletak di tengah Danau Ranau ( walaupun letaknya tidak persis di tengah-tengah). Pulau tak berpenghuni ini tidaklah terlalu luas. 

Pulau ini banyak ditumbuhi pohon Kelapa, Pohon Mangga, Pohon Alpokat dan semak belukar. Lega rasanya sudah berhasil menjejakkan kaki di pulau mungil ini. Kita bisa memandang sekeliling Danau Ranau dari pulau ini tanpa sekat. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mengitari pulau ini. 


Pulau Mariza di tengah Danau Ranau


Konon menurut cerita rakyat setempat, Danau ini merupakan cikal bakal jembatan yang dihempaskan oleh Si Mata Empat untuk membangun jembatan dari ujung timur danau menuju pekon Banding Agung. Namun Si Pahit Lidah tidak merestuinya. Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat ini merupakan musuh bebuyutan. Hingga disepakatilah kesepakatan. Si Mata Empat boleh membangun jembatan asalkan harus selesai sebelum ayam berkokok. Alhasil, baru menghempaskan beberapa genggaman tanah untuk membangun jembatan, ayam sudah berkokok. 

Konon, Pulau Mariza inilah bekas hempasan tanah yang ditaburkan Si Mata Empat di Danau Ranau. Terkait asal usul pulau nama in, tentunya Anda penasaran bukan? Pulau ini ditemukan oleh leluhur kakek Mariza. Kini Kakek Mariza telah tiada. Kakek Mariza merupakan salah satu tokoh di pekon Batu. Tapi, namanya tetap abadi di Pulau ini. Puas mengitari Pulau ini saatnya untuk kembali melanjutkan perjalanan.

Berrendam di Sumber Air Panas Alami 

Perjalanan berikutnya adalah mengunjungi Sumber Air Panas. Dari pulau Mariza menuju sumber Air Panas ini bisa ditempuh dengan waktu sekitar 20 menit. Disini kita bisa memanjakan diri dengan berrendam di Air Panas yang langsung sumbernya dari gunung dekat Danau Ranau ini. Sumber Air Panas ini terletak persis di bibir Danau Ranau, hanya dibatasi dengan tembok pembatas. Kita dipungut biaya Rp 5000 / orang untuk memasuki kawasan wisata ini. Berbeda saat mengunjungi Pulau Mariza yang gratis tanpa pungutan biaya.
Di Kawasan wisata ini banyak dijumpai penjual makanan. Untuk Anda yang muslim jangan khawatir, ada Mushola yang bisa Anda gunakan untuk sholat. Sensasi wudhu yang berbeda akan Anda temukan disini. Anda langsung berwudhu di Danau Ranau ini. Fiuhhhh……. Segar sekali. Perjalanan kali ini sungguh menyenangkan.



 
Kolam Air Panas di pinggir Danau Ranau "unik"








Pages